Makna Lagu 'Perayaan Mati Rasa' (Umay Shahab): Saat Cinta Berubah Jadi Kehampaan
Lagu 'Perayaan Mati Rasa' sedang viral di TikTok. Simak bedah lirik dan makna mendalam tentang menerima kehilangan dan merayakan kekosongan hati.
Sarah Pratiwi
Penulis
Belakangan ini, timeline TikTok dan Instagram Reels kita dipenuhi dengan potongan lagu sendu namun menenangkan berjudul “Perayaan Mati Rasa”. Lagu yang dinyanyikan oleh Umay Shahab (berkolaborasi dengan Natania Karin) ini sukses menjadi soundtrack wajib bagi mereka yang sedang berada di fase “gagal move on” tapi sudah terlalu lelah untuk menangis.
Berbeda dengan lagu galau pada umumnya yang penuh amarah atau tangisan histeris, “Perayaan Mati Rasa” justru menawarkan perspektif baru: Penerimaan.
Lantas, apa sebenarnya makna filosofis di balik liriknya yang puitis ini? Mari kita bedah lebih dalam dari sisi lirik maupun psikologis.
1. Bedah Lirik: Merayakan Kehampaan
Umay Shahab, yang dulu kita kenal sebagai artis cilik, kini bertransformasi menjadi musisi dan sutradara dengan kedalaman rasa yang luar biasa. Lirik lagu ini ia tulis sebagai representasi kejujuran hati.
A. “Kala mata telah terbiasa… Menatap sendu yang tak berkesudahan…”
Di verse pembuka ini, digambarkan sebuah kondisi desensitisasi. Seseorang yang terlalu sering disakiti atau kecewa akhirnya menjadi “kebal”. Mata yang dulu sembab karena menangis, kini sudah terbiasa menatap kesedihan sebagai rutinitas sehari-hari. Tidak ada lagi keterkejutan, hanya kehampaan yang familiar.
B. “Mari rayakan, kebodohan kita… Yang menyayangi, orang yang tak punya hati…”
Ini adalah chorus yang paling ikonik dan menohok. Kata “Rayakan” di sini mengandung unsur sarkasme yang kental.
- Bukan pesta pora dengan balon dan kue.
- Melainkan sebuah “Toast to our stupidity”. Kita mengajak diri sendiri untuk menertawakan betapa bodohnya kita karena tulus mencintai orang yang bahkan tidak memiliki hati (emotionally unavailable). Ada rasa self-deprecating (mengejek diri sendiri) yang justru melegakan.
C. “Bunga tak mekar, tapi tak juga layu…”
Metafora ini menggambarkan hubungan yang Stagnan. Tidak berkembang ke arah pelaminan/komitmen (tak mekar), tapi juga tidak benar-benar berakhir (tak layu). Hubungan yang menggantung (situationship) inilah yang perlahan membunuh rasa.
2. Psikologi “Mati Rasa” (Emotional Numbness)
Dalam dunia psikologi, apa yang digambarkan lagu ini disebut sebagai Emotional Numbness atau kebas emosional.
- Mekanisme Pertahanan Diri: Saat otak merasa rasa sakit (trauma/patah hati) terlalu berat untuk ditanggung, otak akan “mematikan saklar” perasaan sebagai tameng pelindung.
- Efek Samping: Anda tidak merasa sedih, tapi juga sulit merasa bahagia. Segalanya terasa datar (flat).
Lagu ini mengajarkan bahwa “Mati Rasa” bukanlah kondisi yang harus dilawan, melainkan fase yang harus divalidasi dan diterima.
3. Mengapa Lagu Ini Sangat Relate dengan Gen Z?
Generasi Z sering disebut sebagai generasi yang paling rentan terhadap kesepian dan masalah mental. Lagu ini menjadi anthem karena mewakili fenomena:
- Situationship: Hubungan tanpa label yang membingungkan.
- Burnout Percintaan: Lelah dengan aplikasi kencan (dating apps) dan basa-basi perkenalan yang ujungnya ghosting.
- Validasi Perasaan: Gen Z butuh divalidasi bahwa “Gapapa lho kalau kamu capek dan nggak ngerasain apa-apa lagi”.
4. Kesimpulan: Seni Melepaskan Tanpa Membenci
“Perayaan Mati Rasa” mengajarkan kita bahwa puncak tertinggi dari mencintai adalah ikhlas. Ketika kita sudah sampai di titik mati rasa, kita tidak lagi membenci sang mantan, tidak juga mengharapkannya kembali. Kita hanya diam, menerima bahwa bab ini sudah selesai, dan merayakan kebodohan kita sebagai pelajaran berharga untuk masa depan.
Jadi, untuk kamu yang memutar lagu ini berulang kali di kamar gelap: It’s okay to feel nothing. Your numbness is valid. Cheers! 🥂